BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. 1.1
Latar Belakang
Sejarah telah
menunjukkan bahwa Pulau Timor merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan
ternak besar (Sapi, Kerbau, dan Kuda, Kambing serta Sapi). Lahan masih cukup
tersedia di Kabupaten TTS, Sumba Barat, Sumba Timur dan Kabupaten Kupang.
Status tanah adalah milik masyarakat.
Pulau Timor merupakan
daerah yang potensial untuk pengembangan peternakan dengan luas padang
penggembalaan mencapai 888.273 Ha. Jenis ternak seperti sapi potong, kerbau,
kambing, babi, domba, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan itik
yang tersebar di masing-masing daerah Kabupaten/Kota, merupakan salah satu
keunggulan dari daerah ini.
Pulau Timor dan
pulau-pulau kecil sekitarnya (tidak termasuk Timor Timur) terdiri atas 4
Kabupaten, yaitu Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan
Belu dengan kepadatan penduduk 60,84 orang/km 2 yang umum-nya
bermata-pencaharian utama sebagai petani .
Musim kemarau
berlangsung 7 - 8 bulan lamanya, mengakibatkan padang rumput mendominasi
wilayah tersebut, terutama dataran yang tidak memiliki sumber air musiman (2 –
3 bulan). Sehingga dataran tandus yang luas di musim kemarau dan hamparan
rumput hijau di musim hujan merupakan pemandangan yang umum .
Aneka jenis
tanaman stepa lain turut mewarnai panorama di Timor. Sempitnya areal untuk
pertanian dan luasnya padang rumput mengakibatkan Timor sangat cocok untuk
mengutamakan sektor peternakan dari sektor lainnya . Berdasarkan potensi ini,
maka pada masa penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1915, sapi Bali
dimasukkan ke Timor dalam jumlah ratusan ekor .
Sapi Bali yang
dimasukkan ke Timor ternyata dapat beraklimatisasi dengan lingkungan setempat dan
sangat prolifik, sehingga tidak mengherankan bahwa dalam jangka waktu relatif singkat,
ternak sapi tersebut mampu berkembang pesat di tengah-tengah alam Timor yang
sangat kering akibat kemarau panjang . Sampai saat sekarang pertambahan
populasi masih terus berlangsung walaupun Timor telah menjadi salah satu
donatur daging dan bibit sapi hampir ke seluruh wilayah Indonesia.
1.2.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah :
-
Mahasiswa
dapat mengetahui potensi pakan yang ada di wilayah kerja masing-masing.
-
Mahasisa
dapat mengetahui manfaat/pentingnya pakan bagi pertumbuhan dan perkembangan
ternak.
-
Salah
satu syarat untuk mendapatkan nilai mata kuliah Tekhnologi Hijauan Makanan
Ternak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Gambaran Umum Wilayah Pulau Timor
Pulau Timor sebagai salah satu wilayah
dengan jumlah sapi potong yang banyak, sejak beberapa dekade lalu telah mampu
mengantarpulaukan atau mengekspor sapi dalam jumlah yang relatif cukup besar.
Namun dalam dekade terakhir ini pengeluaran ternak dari NTT, atau pengeluaran
sapi Bali dari Pulau Timor khususnya, telah mengalami penurunan dalam hal
kuantitas maupun kualitas. Pengeluaran sapi Bali dengan ukuran besar diduga
telah menyebabkan pengurasan mutu genetik ternak (seleksi negatif). Pengeluaran
sapi jantan dan kurangnya pemahaman peternak tentang aspek pemuliaan diduga
juga telah menyebabkan terjadinya inbreeding. Seleksi negatif dan inbreeding yang diimbangi dengan kekurangan pakan pada
musim kering, telah menyebabkan ukuran sapi Bali di Pulau Timor terlihat semakin
kecil dan kurus. Kondisi serupa juga dijumpai di Sulawesi Selatan dan beberapa
wilayah di NTB. Namun di kawasan lain seperti Bali, Kalimantan, Sumatera,
Merauke, dan wilayah lain, kondisi sapi Bali terlihat cukup bagus, sangat
produktif, dan bahkan lebih bagus produktivitasnya dibandingkan dengan sapi
lokal lain maupun sapi peranakan Bos indicus maupun Bos taurus.
Oleh karenanya menyelamatkan atau
mempertahankan Pulau Timor sebagai salah satu gudang sapi Bali di Indonesia
merupakan langkah yang sangat strategis dan penting, khususnya untuk turut
mewujudkan program swasembada daging sapi.
Sebagai wilayah yang memiliki populasi
sapi potong (sapi Bali) paling banyak, perlu diketahui kondisi agroekologi dan
sosial budaya masyarakat di Pulau Timor. Hasil studi Badan Litbang Pertanian
pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Pulau Timor bagian barat yang merupakan
bagian dari Propinsi NTT adalah daerah kering dengan luas wilayah sekitar 1,7
juta hektar. Sekitar 700 ribu hektar dari kawasan ini merupakan kawasan peternakan,
dan saat ini terdapat ternak dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sekitar 530
ribu animal unit(AU). Diperkirakan daya dukung wilayah untuk ternak sekitar 1,3
ha/AU. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini, populasi sapi di Propinsi NTT
secara umum menunjukkan tendensi yang relatif stabil, namun jumlah rumah tangga
pemilikan ternak meningkat. Hal ini disebabkan karena ternak lebih banyak
dikandangkan karena alasan keamanan dan potensi merusak usaha pertanian,
sehingga kemampuan keluarga untuk memelihara ternak menjadi semakin terbatas.
Pada umumnya petani hanya memiliki 1 –
2 ekor sapi, walaupun ada beberapa peternak yang memiliki 3 – 10 ekor (BADAN
LITBANG PERTANIAN, 2007). Dari hasil survei 12 desa di Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU), sekitar 59 persen keluarga petani
memiliki rata-rata 2,4 ekor sapi per KK. Angka ini menggambarkan bahwa sapi
mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan keluarga petani di Pulau
Timor. Pemeliharaan sapi dilakukan secara ekstensif di areal penggembalaan yang
luas, namun tidak subur dan dipergunakan secara bersama-sama. Diperkirakan
sekitar 67,5 persen lahan di Nusa Tenggara Timur termasuk kelas tipe IV – VI
yang kurang sesuai untuk usaha pertanian intensif, sehingga ternak sapi merupakan
komoditas paling tepat untuk dikembangkan di Pulau Timor. Daya tampung atau carrying capacity padang
penggembalaan umum ini dapat ditingkatkan apabila ada perawatan dan perbaikan
dengan penanaman rumput atau leguminosa yang lebih produktif, adaptif, dan
tahan penggembalaan (grazing). Pengairan dan pemupukan juga sangat diperlukan
bila kualitas padang penggembalaan akan ditingkatkan. Namun karena kawasan ini
dipergunakan secara bersama-sama, tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk
mengelolanya. Bila jumlah sapi (stocking rate) meningkat dalam suatu kawasan
yang mengakibatkan tekanan pada padang penggembalaan (grazing pressure), maka
secara langsung akan berdampak pada kondisi ternak yang menurun akibat
kekurangan pakan. Kondisi ini akan semakin diperburuk dengan adanya kemarau
panjang akibat perubahan iklim, atau kebakaran/pembakaran rumput secara
berlebihan. Pemeliharaan ternak secara intensif biasanya dilakukan di wilayah
dekat sumber air, misalnya di daerah persawahan. Di kawasan ini ternak dipelihara
secara terintegrasi dengan usaha tanaman pangan, walaupun belum ada aplikasi
inovasi untuk meningkatkan kualitas pakan atau pengolahan kotoran ternak
menjadi bahan pupuk organik. Berbeda dengan sistem gembala, ternak dipelihara
lebih intensif dengan pemberian pakan secara
cut and carry.
Pola pemeliharaan seperti ini
berdampak pada produktivitas sapi yang lebih baik, antara lain ditunjukkan
dengan bobot hidup yang lebih tinggi dan tingkat kematian yang relatif kecil.
Pada tahun 1930-an di wilayah Amarasi, Kabupaten Kupang telah dilakukan
penghijauan dengan menanam lamtoro (Leucaena leucocephala) untuk tujuan
mengurangi degradasi lahan. Pada tahun 1970-an kawasan ini telah tumbuh menjadi
‘hutan’ lamtoro dalam jumlah yang sangat memadai untuk kegiatan pembesaran dan
penggemukan sapi. Bahkan sebagian besar pengeluaran sapi untuk tujuan antar
pulau atau ekspor pada waktu itu berasal dari kawasan ini. Dengan tersedianya
lamtoro yang cukup besar, petani mampu memelihara sapi sebanyak 4 – 5 ekor per
KK. Namun dalam kenyataannya pada waktu itu petani tetap saja miskin karena
yang menikmati keuntungan terbesar adalah pemilik modal yang menitipkan sapinya
kepada petani. Biasanya pemodal menitipkan sapi kecil untuk dipelihara sampai
ukuran tertentu, dan setelah besar petani memperoleh imbalan sekitar Rp. 300
ribu per ekor selama 2 tahun (komunikasi pribadi dengan petani). Secara umum,
produktivitas sapi di Pulau Timor masih rendah, antara lain disebabkan karena 4
faktor, yaitu kondisi ternak, peternak, lahan dan teknologi. Beberapa pakar
memperkirakan bahwa telah terjadi inbreedingatau pengurasan ternak (seleksi
negatif) secara tidak terkendali, sehingga ukuran sapi menjadi semakin kecil.
Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pakan dan minum pada saat musim kering,
serta ancaman beberapa penyakit atau parasit yang sangat merugikan.
Kekurangan pakan dan masalah penyakit
secara langsung akan menyebabkan tingkat kematian anak sapi sangat tinggi yang
dapat mencapai 48 persen (TALIB et al., 2003). Namun sapi Bali di kawasan ini
mempunyai tingkat fertilitas yang sangat baik, walaupun kondisi tubuhnya kecil
dan kurus. Pada umumnya hampir setiap tahun sapi Bali dapat beranak, walaupun
sebagian anak-anaknya akan mati karena kekurangan susu atau pakan Tingkat
pendidikan petani di daerah ini relatif masih rendah, dan pengetahuan tentang
good farming practicehampir tidak dimiliki. Dua hal tersebut dibarengi dengan
skala usaha yang relatif kecil, budaya kerja yang masih perlu ditingkatkan,
serta faktor sosial (pencurian ternak) yang kurang kondusif, merupakan beberapa
faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak atau usaha peternakan sapi
menjadi sangat rendah.
Padang penggembalaan yang didominasi
oleh rumput alam yang kurang produktif serta dibarengi dengan berkembangnya
gulma pengganggu mengakibatkan carrying capacitylahan menurun. Hal ini terkait
erat dengan status kepemilikan lahan yang tidak jelas, sehingga tidak ada yang
merasa bertanggung jawab untuk merawat dan memelihara padang penggembalaan.
Teknologi untuk meningkatkan kualitas
dan ketersediaan pakan belum sepenuhnya dikuasai petani, seperti pengembangan
gudang pakan (feed bank), pengkayaan pakan (feed enrichment), pola integrasi
crop livestock systematau food feed system, maupun strategi pemberian pakan
yang lebih rasional (feeding strategy). Teknologi pemuliaan dan reproduksi
masih sangat jauh dari jangkauan peternak, karena masalah fundamental tentang
pakan dan air pada saat musim kering masih menjadi kendala yang belum dapat
diatasi. Teknologi pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak sudah banyak
dilakukan dengan vaksinansi, walaupun cakupannya masih perlu diperluas.
Terbatasnya adopsi teknologi ini juga tidak terlepas dari kurangnya insentif
ekonomi yang diperoleh peternak, dan sebagian besar peternak masih berperan
sebagai user atau keeper saja, bukan producer.
2.2.
Usaha Pembesaran Sapi Bali Di Pulau Timor
Sapi Bali sebagai sumberdaya genetik
dan didukung oleh ketersediaan hutan lamtoro di Pulau Timor, masih belum
sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Peternak masih miskin, dan tidak
mempunyai akses terhadap modal maupun teknologi. Skala usaha yang terbatas dan
tiadanya akses informasi pasar, menyebabkan posisi tawar peternak semakin lemah
dalam tataniaga sapi. Kerjasama dengan pemodal dalam sistem gaduhan juga belum
mampu mengangkat kesejahteraan petani. Petani tidak memperoleh penjelasan yang
jelas dan adil, sehingga petani justru dimanfaatkan sebagai buruh murah oleh
para pemodal. Bantuan dari berbagai program sudah banyak ditawarkan, namun
hasilnya masih belum optimal, karena pendampingan dan pelaksanaan program yang
belum sepenuhnya mampu mengangkat kesejahteraan peternak.
Peluang ini ternyata telah mendorong
Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) NTT untuk mengembangkan program kemitraan
pembesaran sapi Bali, dengan tujuan salah satunya adalah untuk memberdayakan
masyarakat miskin di pedesaan. Program disusun dengan sangat sederhana,
sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dan petugas di lapang. Program
kemitraan ini pada prinsipnya sama dengan program lain atau kegiatan
sebelumnya, namun sejak awal dirancang agar petani memperoleh keuntungan yang
optimal. Puskud NTT berperan sebagai inti, dan peternak adalah sebagai plasma.
Puskud bekerjasama dengan penyandang dana (National Cooperative Business
Association, NCBA) menyediakan kredit untuk pengadaan sapi yang akan
dibesarkan, serta biaya-biaya tunai lain yang secara nyata harus dibeli atau
dikeluarkan, seperti pembelian tali, nomor telinga, obat-obatan, dan lain-lain.
Peternak berkewajiban untuk memelihara sapi sesuai petunjuk petugas, dan
menyiapkan kandang sederhana. Pada saat sapi telah mencapai ukuran tertentu
(bobot hidup lebih dari 250 kg), Puskud mencarikan pembeli yang bersedia
membayar dengan harga jual sesuai dengan harga pasar berdasarkan bobot hidup.
Pola ini hampir tidak ada perbedaan dengan program lainnya, kecuali dalam
pelaksanaannya yang dilakukan melalui prinsip good governance yaitu transparan,
akurat, jujur, adil dan konsisten. Law
enforcement benar-benar ditegakkan,
reward and punishment dilaksanakan secara tegas, serta tidak ada
diskriminasi bagi petani yang mau bekerja keras dan mematuhi
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
1.
Pemeliharaan
ternak sapi dan ternak lainnya sangat tergantung
pada keadaan lingkungan sekitar yaitu ketersediaan pakan Hijauan Makanan Ternak yang sangat berpengaruh untuk
perkembangan ternak itu sendiri.
2.
Potensi
Hijauan Makanan Ternak yang ada di Pulau Timor adalah padang penggembalaan.
Selain padang penggembalaan ada pula jenis Hijauan Makanan Ternak yang dapat
diusahakan untuk ketersediaan pakan bagi ternak di wilayah tersebut.
3.
Dengan
sistem penggembalaan sangat tergantung pada alam, akibatnya ternak merumput mengikuti
seleranya . Hal ini menimbulkan "over-grazing" di suatu tempat dan
"under grazing" pada tempat lainnya. Pemeliharaan sistem paron yang
semi intensif adalah suatu sistem "fattening" yang memanfaatkan
hijauan segar berkualitas baik yang
dapat diusahakan dengan penanaman beberapa jenis legume seperti, lamtoronisasi,
penanaman turi dan gamal.
4.
Dengan
adanya pengelolaan padang penggembalaan yang baik maka peningkatan populasi
masih dapat ditingkatkan.
4.2.
Saran
1.
Dengan
melihat potensi yang ada di wilayah Timor bahwa di wilayah ini maka Pulau Timor
merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan ternak besar (Sapi, Kerbau, dan
Kuda, Kambing serta Sapi). Oleh karena itu maka perawatan dan perbaikan dengan
penanaman rumput atau leguminosa yang lebih produktif, adaptif, dan tahan
penggembalaan (grazing). Pengairan dan pemupukan juga sangat diperlukan bila
kualitas padang penggembalaan semakin ditingkatkan.
2.
Selain
dukungan ketersediaan pandang penggembalaan dan Hijauan Makanan Ternak perlu
ada perhatian terhadap teknologi pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak sehingga
dapat mempertahankan dan meningkatkan produksi dan produktivitas ternak.
DAFTAR
PUSTAKA
BKPMD. TT.
Peternak. http://www.nttprov.go.id/bkpmd/web/index.php?hal=poternak. [8 Juli 2012]. 16.
Deptan. TT.
Wartazoa. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/wartazoa/wazo13-1.pdf. [8 Juli 2012]. 16.
Deptan. TT.
Wartazoa. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/wartazoa/wazo181-5.pdf. [8 Juli 2012].16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar