Kamis, 09 Agustus 2012

Potensi Pakan Ternak di Pulau Timor



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.                         1.1 Latar Belakang
Sejarah telah menunjukkan bahwa Pulau Timor merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan ternak besar (Sapi, Kerbau, dan Kuda, Kambing serta Sapi). Lahan masih cukup tersedia di Kabupaten TTS, Sumba Barat, Sumba Timur dan Kabupaten Kupang. Status tanah adalah milik masyarakat.
Pulau Timor merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan peternakan dengan luas padang penggembalaan mencapai 888.273 Ha. Jenis ternak seperti sapi potong, kerbau, kambing, babi, domba, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan itik yang tersebar di masing-masing daerah Kabupaten/Kota, merupakan salah satu keunggulan dari daerah ini.
Pulau Timor dan pulau-pulau kecil sekitarnya (tidak termasuk Timor Timur) terdiri atas 4 Kabupaten, yaitu Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu dengan kepadatan penduduk 60,84 orang/km 2 yang umum-nya bermata-pencaharian utama sebagai petani .
Musim kemarau berlangsung 7 - 8 bulan lamanya, mengakibatkan padang rumput mendominasi wilayah tersebut, terutama dataran yang tidak memiliki sumber air musiman (2 – 3 bulan). Sehingga dataran tandus yang luas di musim kemarau dan hamparan rumput hijau di musim hujan merupakan pemandangan yang umum .
Aneka jenis tanaman stepa lain turut mewarnai panorama di Timor. Sempitnya areal untuk pertanian dan luasnya padang rumput mengakibatkan Timor sangat cocok untuk mengutamakan sektor peternakan dari sektor lainnya . Berdasarkan potensi ini, maka pada masa penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1915, sapi Bali dimasukkan ke Timor dalam jumlah ratusan ekor .
Sapi Bali yang dimasukkan ke Timor ternyata dapat beraklimatisasi dengan lingkungan setempat dan sangat prolifik, sehingga tidak mengherankan bahwa dalam jangka waktu relatif singkat, ternak sapi tersebut mampu berkembang pesat di tengah-tengah alam Timor yang sangat kering akibat kemarau panjang . Sampai saat sekarang pertambahan populasi masih terus berlangsung walaupun Timor telah menjadi salah satu donatur daging dan bibit sapi hampir ke seluruh wilayah Indonesia.

1.2.                        1.2 Tujuan
                Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
-       Mahasiswa dapat mengetahui potensi pakan yang ada di wilayah kerja masing-masing.
-       Mahasisa dapat mengetahui manfaat/pentingnya pakan bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak.
-       Salah satu syarat untuk mendapatkan nilai mata kuliah Tekhnologi Hijauan Makanan Ternak.


 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Gambaran Umum Wilayah Pulau Timor
Pulau Timor sebagai salah satu wilayah dengan jumlah sapi potong yang banyak, sejak beberapa dekade lalu telah mampu mengantarpulaukan atau mengekspor sapi dalam jumlah yang relatif cukup besar. Namun dalam dekade terakhir ini pengeluaran ternak dari NTT, atau pengeluaran sapi Bali dari Pulau Timor khususnya, telah mengalami penurunan dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pengeluaran sapi Bali dengan ukuran besar diduga telah menyebabkan pengurasan mutu genetik ternak (seleksi negatif). Pengeluaran sapi jantan dan kurangnya pemahaman peternak tentang aspek pemuliaan diduga juga telah menyebabkan terjadinya inbreeding. Seleksi negatif dan inbreeding  yang diimbangi dengan kekurangan pakan pada musim kering, telah menyebabkan ukuran sapi Bali di Pulau Timor terlihat semakin kecil dan kurus. Kondisi serupa juga dijumpai di Sulawesi Selatan dan beberapa wilayah di NTB. Namun di kawasan lain seperti Bali, Kalimantan, Sumatera, Merauke, dan wilayah lain, kondisi sapi Bali terlihat cukup bagus, sangat produktif, dan bahkan lebih bagus produktivitasnya dibandingkan dengan sapi lokal lain maupun sapi peranakan Bos indicus maupun Bos taurus.
Oleh karenanya menyelamatkan atau mempertahankan Pulau Timor sebagai salah satu gudang sapi Bali di Indonesia merupakan langkah yang sangat strategis dan penting, khususnya untuk turut mewujudkan program swasembada daging sapi.
Sebagai wilayah yang memiliki populasi sapi potong (sapi Bali) paling banyak, perlu diketahui kondisi agroekologi dan sosial budaya masyarakat di Pulau Timor. Hasil studi Badan Litbang Pertanian pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Pulau Timor bagian barat yang merupakan bagian dari Propinsi NTT adalah daerah kering dengan luas wilayah sekitar 1,7 juta hektar. Sekitar 700 ribu hektar dari kawasan ini merupakan kawasan peternakan, dan saat ini terdapat ternak dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sekitar 530 ribu animal unit(AU). Diperkirakan daya dukung wilayah untuk ternak sekitar 1,3 ha/AU. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini, populasi sapi di Propinsi NTT secara umum menunjukkan tendensi yang relatif stabil, namun jumlah rumah tangga pemilikan ternak meningkat. Hal ini disebabkan karena ternak lebih banyak dikandangkan karena alasan keamanan dan potensi merusak usaha pertanian, sehingga kemampuan keluarga untuk memelihara ternak menjadi semakin terbatas.
Pada umumnya petani hanya memiliki 1 – 2 ekor sapi, walaupun ada beberapa peternak yang memiliki 3 – 10 ekor (BADAN LITBANG PERTANIAN, 2007). Dari hasil survei 12 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU), sekitar 59 persen keluarga petani memiliki rata-rata 2,4 ekor sapi per KK. Angka ini menggambarkan bahwa sapi mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan keluarga petani di Pulau Timor. Pemeliharaan sapi dilakukan secara ekstensif di areal penggembalaan yang luas, namun tidak subur dan dipergunakan secara bersama-sama. Diperkirakan sekitar 67,5 persen lahan di Nusa Tenggara Timur termasuk kelas tipe IV – VI yang kurang sesuai untuk usaha pertanian intensif, sehingga ternak sapi merupakan komoditas paling tepat untuk dikembangkan di Pulau Timor.  Daya tampung atau carrying capacity padang penggembalaan umum ini dapat ditingkatkan apabila ada perawatan dan perbaikan dengan penanaman rumput atau leguminosa yang lebih produktif, adaptif, dan tahan penggembalaan (grazing). Pengairan dan pemupukan juga sangat diperlukan bila kualitas padang penggembalaan akan ditingkatkan. Namun karena kawasan ini dipergunakan secara bersama-sama, tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk mengelolanya. Bila jumlah sapi (stocking rate) meningkat dalam suatu kawasan yang mengakibatkan tekanan pada padang penggembalaan (grazing pressure), maka secara langsung akan berdampak pada kondisi ternak yang menurun akibat kekurangan pakan. Kondisi ini akan semakin diperburuk dengan adanya kemarau panjang akibat perubahan iklim, atau kebakaran/pembakaran rumput secara berlebihan. Pemeliharaan ternak secara intensif biasanya dilakukan di wilayah dekat sumber air, misalnya di daerah persawahan. Di kawasan ini ternak dipelihara secara terintegrasi dengan usaha tanaman pangan, walaupun belum ada aplikasi inovasi untuk meningkatkan kualitas pakan atau pengolahan kotoran ternak menjadi bahan pupuk organik. Berbeda dengan sistem gembala, ternak dipelihara lebih intensif dengan pemberian pakan secara  cut and carry.
Pola pemeliharaan seperti ini berdampak pada produktivitas sapi yang lebih baik, antara lain ditunjukkan dengan bobot hidup yang lebih tinggi dan tingkat kematian yang relatif kecil. Pada tahun 1930-an di wilayah Amarasi, Kabupaten Kupang telah dilakukan penghijauan dengan menanam lamtoro (Leucaena leucocephala) untuk tujuan mengurangi degradasi lahan. Pada tahun 1970-an kawasan ini telah tumbuh menjadi ‘hutan’ lamtoro dalam jumlah yang sangat memadai untuk kegiatan pembesaran dan penggemukan sapi. Bahkan sebagian besar pengeluaran sapi untuk tujuan antar pulau atau ekspor pada waktu itu berasal dari kawasan ini. Dengan tersedianya lamtoro yang cukup besar, petani mampu memelihara sapi sebanyak 4 – 5 ekor per KK. Namun dalam kenyataannya pada waktu itu petani tetap saja miskin karena yang menikmati keuntungan terbesar adalah pemilik modal yang menitipkan sapinya kepada petani. Biasanya pemodal menitipkan sapi kecil untuk dipelihara sampai ukuran tertentu, dan setelah besar petani memperoleh imbalan sekitar Rp. 300 ribu per ekor selama 2 tahun (komunikasi pribadi dengan petani). Secara umum, produktivitas sapi di Pulau Timor masih rendah, antara lain disebabkan karena 4 faktor, yaitu kondisi ternak, peternak, lahan dan teknologi. Beberapa pakar memperkirakan bahwa telah terjadi inbreedingatau pengurasan ternak (seleksi negatif) secara tidak terkendali, sehingga ukuran sapi menjadi semakin kecil. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pakan dan minum pada saat musim kering, serta ancaman beberapa penyakit atau parasit yang sangat merugikan.
Kekurangan pakan dan masalah penyakit secara langsung akan menyebabkan tingkat kematian anak sapi sangat tinggi yang dapat mencapai 48 persen (TALIB et al., 2003). Namun sapi Bali di kawasan ini mempunyai tingkat fertilitas yang sangat baik, walaupun kondisi tubuhnya kecil dan kurus. Pada umumnya hampir setiap tahun sapi Bali dapat beranak, walaupun sebagian anak-anaknya akan mati karena kekurangan susu atau pakan Tingkat pendidikan petani di daerah ini relatif masih rendah, dan pengetahuan tentang good farming practicehampir tidak dimiliki. Dua hal tersebut dibarengi dengan skala usaha yang relatif kecil, budaya kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta faktor sosial (pencurian ternak) yang kurang kondusif, merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak atau usaha peternakan sapi menjadi sangat rendah.
Padang penggembalaan yang didominasi oleh rumput alam yang kurang produktif serta dibarengi dengan berkembangnya gulma pengganggu mengakibatkan carrying capacitylahan menurun. Hal ini terkait erat dengan status kepemilikan lahan yang tidak jelas, sehingga tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk merawat dan memelihara padang penggembalaan.
Teknologi untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan pakan belum sepenuhnya dikuasai petani, seperti pengembangan gudang pakan (feed bank), pengkayaan pakan (feed enrichment), pola integrasi crop livestock systematau food feed system, maupun strategi pemberian pakan yang lebih rasional (feeding strategy). Teknologi pemuliaan dan reproduksi masih sangat jauh dari jangkauan peternak, karena masalah fundamental tentang pakan dan air pada saat musim kering masih menjadi kendala yang belum dapat diatasi. Teknologi pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak sudah banyak dilakukan dengan vaksinansi, walaupun cakupannya masih perlu diperluas. Terbatasnya adopsi teknologi ini juga tidak terlepas dari kurangnya insentif ekonomi yang diperoleh peternak, dan sebagian besar peternak masih berperan sebagai user atau keeper saja, bukan producer.

2.2.   Usaha Pembesaran Sapi Bali Di Pulau Timor
Sapi Bali sebagai sumberdaya genetik dan didukung oleh ketersediaan hutan lamtoro di Pulau Timor, masih belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Peternak masih miskin, dan tidak mempunyai akses terhadap modal maupun teknologi. Skala usaha yang terbatas dan tiadanya akses informasi pasar, menyebabkan posisi tawar peternak semakin lemah dalam tataniaga sapi. Kerjasama dengan pemodal dalam sistem gaduhan juga belum mampu mengangkat kesejahteraan petani. Petani tidak memperoleh penjelasan yang jelas dan adil, sehingga petani justru dimanfaatkan sebagai buruh murah oleh para pemodal. Bantuan dari berbagai program sudah banyak ditawarkan, namun hasilnya masih belum optimal, karena pendampingan dan pelaksanaan program yang belum sepenuhnya mampu mengangkat kesejahteraan peternak.
Peluang ini ternyata telah mendorong Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) NTT untuk mengembangkan program kemitraan pembesaran sapi Bali, dengan tujuan salah satunya adalah untuk memberdayakan masyarakat miskin di pedesaan. Program disusun dengan sangat sederhana, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dan petugas di lapang. Program kemitraan ini pada prinsipnya sama dengan program lain atau kegiatan sebelumnya, namun sejak awal dirancang agar petani memperoleh keuntungan yang optimal. Puskud NTT berperan sebagai inti, dan peternak adalah sebagai plasma. Puskud bekerjasama dengan penyandang dana (National Cooperative Business Association, NCBA) menyediakan kredit untuk pengadaan sapi yang akan dibesarkan, serta biaya-biaya tunai lain yang secara nyata harus dibeli atau dikeluarkan, seperti pembelian tali, nomor telinga, obat-obatan, dan lain-lain. Peternak berkewajiban untuk memelihara sapi sesuai petunjuk petugas, dan menyiapkan kandang sederhana. Pada saat sapi telah mencapai ukuran tertentu (bobot hidup lebih dari 250 kg), Puskud mencarikan pembeli yang bersedia membayar dengan harga jual sesuai dengan harga pasar berdasarkan bobot hidup. Pola ini hampir tidak ada perbedaan dengan program lainnya, kecuali dalam pelaksanaannya yang dilakukan melalui prinsip good governance yaitu transparan, akurat, jujur, adil dan konsisten.  Law enforcement benar-benar ditegakkan,  reward and punishment dilaksanakan secara tegas, serta tidak ada diskriminasi bagi petani yang mau bekerja keras dan mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama.

         BAB III
PENUTUP

3.1.   KESIMPULAN
1.    Pemeliharaan ternak sapi dan ternak lainnya  sangat tergantung pada keadaan lingkungan sekitar yaitu ketersediaan pakan Hijauan  Makanan Ternak yang sangat berpengaruh untuk perkembangan ternak itu sendiri.
2.    Potensi Hijauan Makanan Ternak yang ada di Pulau Timor adalah padang penggembalaan. Selain padang penggembalaan ada pula jenis Hijauan Makanan Ternak yang dapat diusahakan untuk ketersediaan pakan bagi ternak di wilayah tersebut.
3.    Dengan sistem penggembalaan sangat tergantung pada alam, akibatnya ternak merumput mengikuti seleranya . Hal ini menimbulkan "over-grazing" di suatu tempat dan "under grazing" pada tempat lainnya. Pemeliharaan sistem paron yang semi intensif adalah suatu sistem "fattening" yang memanfaatkan hijauan segar berkualitas baik  yang dapat diusahakan dengan penanaman beberapa jenis legume seperti, lamtoronisasi, penanaman turi dan gamal.
4.    Dengan adanya pengelolaan padang penggembalaan yang baik maka peningkatan populasi masih dapat ditingkatkan.

4.2.        Saran
1.    Dengan melihat potensi yang ada di wilayah Timor bahwa di wilayah ini maka Pulau Timor merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan ternak besar (Sapi, Kerbau, dan Kuda, Kambing serta Sapi). Oleh karena itu maka perawatan dan perbaikan dengan penanaman rumput atau leguminosa yang lebih produktif, adaptif, dan tahan penggembalaan (grazing). Pengairan dan pemupukan juga sangat diperlukan bila kualitas padang penggembalaan semakin ditingkatkan.
2.    Selain dukungan ketersediaan pandang penggembalaan dan Hijauan Makanan Ternak perlu ada perhatian terhadap teknologi pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan produksi dan produktivitas ternak.


DAFTAR PUSTAKA

BKPMD. TT. Peternak. http://www.nttprov.go.id/bkpmd/web/index.php?hal=poternak. [8 Juli 2012]. 16.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar