Di kawasan pertanian di pedalaman Pulau Jawa, sering
kita temukan tanaman kacang-kacangan, berupa terna berkayu setinggi 1,5 sd. 2
m. Pada ranting tanaman ini, terdapat tangkai dengan tiga helai daun.
Masing-masing helai daun berbentuk ramping, dengan pangkal dan ujung meruncing.
Panjangnya 6 cm, dengan bagian paling lebar 2 cm. Warnanya hijau tua. Permukaan
daun, tangkai, ranting serta kulit batang berbulu halus. Pucuk daun berwarna
kecokelatan. Bunganya berbentuk kupu-kupu berwarna keunguan dan muncul dari
pucuk ranting.
Oleh masyarakat pedesaan, tanaman ini disebut gude
(gu-dé), atau kacang gude. Buah gude berupa polong, berbentuk mirip kedelai,
namun berukuran lebih besar dan lebih panjang. Permukaan kulit polong juga
berbulu halus. Warna polong hijau, dan akan berubah menjadi ungu kecokelatan
setelah tua. Di dalam polong terdapat biji dengan bentuk seperti kedelai, namun
berukuran sedikit lebih besar. Warna kulit biji bervariasi mulai dari hijau,
kuning kecokelatan, cokelat sampai ke ungu tua. Polong gude bisa dipanen dalam
keadaan tua (segar), tetapi bisa pula ketika sudah benar-benar tua, dan
kulitnya agak mengering.
Di Jawa, biji gude segar maupun yang sudah kering,
biasa dijual di pasar-pasar tradisional. Masyarakat Jawa mengolah biji gude
menjadi sayur yang disebut jubleg, atau dibuat bongko. Bumbunya bawang merah,
bawang putih, kencur, daun salam, garam dan parutan kelapa yang masih agak
muda. Kalau sayur gude hanya cukup direbus dalam wadah, maka bongko dibungkus
satu per satu dengan daun pisang, baru kemudian dikukus. Rasa kacang gude
sangat khas, hingga sulit untuk dibandingkan dengan kacang-kacangan lain.
# # #
Dalam perdagangan internasional, gude disebut pigeon
pea (Cajanus cajan, Cajanus indicus). Di India, gude disebut arhar, red
gram, toovar, toor. Gude diduga berasal dari India, dan telah dibudidayakan
paling sedikit sekitar 1.000 tahun sebelum masehi. Kemudian tanaman ini
menyebar ke Asia Tenggara, dan Afrika Timur. Oleh bangsa Eropa, gude dibawa ke
kepulauan Karibia dan Amerika Tengah serta Latin. Sekarang, tanaman gude sudah
dibudidayakan dan dimanfaatkan secara luas di kawasan tropis serta sub
tropis di seluruh dunia.
Di Jawa, gude dibudidayakan secara monokultur maupun
tumpang sari. Biasanya gude ditumpangsarikan dengan jagung, padi ladang,
kacang tanah, dan palawija serta sayuran lainnya. Petani juga menanam
gude di pematang sawah. Gude tidak mungkin ditumpangsarikan dengan tanaman
berumur setahun, dengan tajuk yang terlalu rapat. Misalnya singkong. Tanaman
kacang-kacangan ini juga tidak mungkin dibudidayakan di bawah tegakan tanaman
keras. Misalnya albisia. Sebab gude menghendaki lahan terbuka, dengan sinar
matahari penuh.
Meskipun areal jagung juga rapat, namun umur tanaman
ini hanya 3,5 bulan, hingga pada bulan-bulan selanjutnya gude dapat menerima
sinar matahari penuh, sampai dengan saat panen pada musim kemarau. Pengolahan
lahan untuk budidaya gude secara monokultur, tidak perlu sebaik pada penanaman
tumpangsari. Sebab gude mampu tumbuh dengan cukup baik, di lahan-lahan
marjinal. Bahkan lahan alang-alang yang dibabat serta dibakar pun, bisa
ditanami gude dengan cara ditugal. Tidak lama kemudian alang-alang memang akan
tumbuh, dan menutup tanaman gude yang masih muda.
Namun tidak lama kemudian, tanaman gude akan meninggi,
hingga mampu mengalahkan alang-alang, dalam berkompetisi merebut cahaya
matahari. Penanaman gude ditanam dalam lubang yang dibuat dengan tugal. Ke
dalam lubang itu dimasukkan tiga biji gude. Biji akan tumbuh pada hari keempat
sampai dengan kelima. Kalau tiga biji ini tumbuh semua, tetap harus dibiarkan
besar hingga kelihatan, mana tanaman yang tumbuh kerdil dan harus dibuang.
Kalau tiga individu tanaman ini tumbuh sama suburnya, maka tiga-tiganya harus
dipelihara.
# # #
Kalau di Indonesia gude hanya sebatas dimasak sebagai
sayur, maka di India dan Kepulauan Karibia, jenis kacang ini dimanfaatkan
secara luas. Mulai dari untuk sayuran seperti di Jawa, dibuat tahu, ditepungkan
dan dibuat cake, serta digiling kasar, untuk dicampurkan pada nasi. Di Dominika
dan Hawaii, gude sudah dibudidayakan secara modern, dan biji segarnya
dikalengkan. Di Puerto Riko, sebuah negara pulau di Laut Karibia, gude
merupakan bahan menu nasional, yang sering meraih penghargaan dalam banyak
kontes memasak internasional.
Selain sebagai penghasil bahan makanan, tanaman gude
juga bisa menghasilkan lak. Di Thailand, gude dibudidayakan secara monokultur,
sebagai tempat pembiakan kutu lak (ordo Homoptera, superfamily Coccoidea,
dengan sekitar 8.000 spesies). Setelah berkembang biak cukup banyak, kutu
lak ini dipanen dan diproses lebih lanjut menjadi bahan pelitur. Di Indonesia
budidaya kutu lak dilakukan oleh Perum Perhutani, pada tanaman kosambi
(Schleichera oleosa). Kayu gude, biasanya dimanfaatkan oleh petani sebagai
bahan bakar. Namun ada pula petani yang memanfaatkannya sebagai ajir bagi
tanaman marambat.
Tanaman gude juga mampu meningkatkan kesuburan lahan.
Pertama-tama kesuburan lahan itu disebabkan oleh daun gude yang rontok dan
hancur menjadi pupuk hijau. Kedua, akar tanaman gude juga mampu bersimbiosis
dengan bekteri Rhizobium, dan membentuk bintil akar untuk menyimpan oksigen,
yang ditangkap oleh daun langsung dari udara. Dalam tiap areal gude seluas satu
hektar, potensi nitrogen yang bisa dikumpulkan mencapai 40 kg. Meskipun berupa
terna berkayu, gude tetap tanaman semusim. Setelah dipanen, tanaman gude akan
mati, hingga diperlukan penanaman baru dengan benih baru. (R) # # #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar