Senin, 27 Agustus 2012

Tugas Down Load Makalah Tekhnologi Budidaya Kelor


TEKNOLOGI BUBIDAYA KELOR 
Awaludin dan Panjaitan, T.
Kelor (Moringa oleifera Lam) merupakan tanaman perdu yang tinggi pohonnya dapat mencapai 10 meter, tumbuh subur mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut dan dapat tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah kecuali tanah berlempung berat dan menyukai pH tanah netral sampai sedikit asam. Tanaman yang berasal dari dataran sekitar Himalaya, India, Pakistan dan Afganistan ini tidak asing bagi keseharian masyarakat di Nusa Tenggara Barat karena selain berfungsi sebagai pagar hidup di pekarangan dan kebun, kelor merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak di konsumsi rumah tangga tani.  Diberbagai belahan dunia seperti di Afrika; Etiopia, Sudan, Somalia, Kenya dan juga di Arab Saudi dan Israel kelor juga dipergunakan sebagai tanaman pionir karena tahan kekeringan dan juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pemberian daun kelor pada sapi dilaporkan dapat meningkatkan pertambahan berat badan.
            Daun kelor dan buah kelor sebenarnya mempunyai nilai ekonomis karena sebagian petani dapat menjual daun dan buah mudanya kepasar namun budidayanya belum banyak dikembangkan dan dipelajari untuk dapat menghasilkan produksi daun yang optimal dengan kualitas yang tinggi.
Perbanyakan Kelor
Kelor sangat mudah ditanam baik dengan menggunakan stek maupun biji.  Penanaman dengan stek merupakan praktek yang paling umum dilakukan sesuai dengan fungsinya sebagai batas tanah, pagar hidup ataupun batang perambat. Perbanyakan dengan stek cenderung memberikan produksi biomas yang lebih banyak karena tanaman cenderung menghasilkan banyak cabang yang rimbun sedangkan perbanyakan dengan biji menyebabkan tanaman cenderung tumbuh keatas dengan batang utama dan percabangan yang sedikit.
 1.   Perbanyakan dengan stek batang
Perbanyakan dengan batang membutuhkan batang stek dengan tinggi antara 0,5 – 1,5 m disesuaikan dengan kebutuhan. Penanaman dengan batang stek yang pendek dapat dilakukan pada pekarangan rumah namun untuk kebun diperlukan batang yang tinggi untuk melindungi tanaman dari ternak. Batang stek yang digunakan sebaiknya berasal dari tanaman yang sehat dan berumur lebih dari enam bulan. Semakin besar lingkaran batang stek semakin besar peluangnya untuk hidup. Penanaman stek dilakukan dengan membuat lubang sedalam 10 – 15 cm dan dihindari melakukan tujak langsung yang dapat merusak bagian kulit ujung batang sehingga mengganggu tempat pertumbuhan perakaran. Pada bagian ujung stek dipotong diagonal untuk memperluas bidang pertumbuhan akar sehingga tanaman dapat bertumbuh dengan cepat dan dengan perakaran yang kokoh. Batang stek setelah dipotong tidak boleh dibiarkan lebih dari tiga hari sebelum ditanam. Waktu penanaman stek batang terbaik adalah pada akhir musim kemarau sampai awal musim hujan. Jarak tanam sangat ditentukan dengan kebutuhan, jarak yang rapat dibutuhkan untuk pagar hidup dan mencegah masuknya hewan liar kedalam kebun.
 2.   Perbanyakan dengan biji
 Perbanyakan dengan biji mempunyai persyaratan yang berbeda dengan perbanyakan dengan stek batang. Tanaman yang diperbanyak dengan biji mempunyai pertumbuhan yang sangat lamban pada awal karena pertumbuhan lebih kepada pengembangan akar sehingga tanaman sangat rentan terhadap persaingan dengan gulma sehingga tanaman perlu disiang dengan teratur, namun setelah akar bertumbuh dengan baik tanaman menjadi lebih kokoh, tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan dan mampu mengasilkan biomas daun yang tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa tindakan untuk dapat mempercepat pertumbuhan kelor yang ditanam dengan biji
a.    Pemilihan biji
Biji yang ditanam sebaiknya berasal dari biji yang sudah diseleksi berasal dari tanaman yang sehat, dipanen pada waktu buah polong kelor sudah tua dan biji dikeringkan dengan baik. Biji yang dipilih sebagai calon benih adalah biji yang sehat penampilan biji tidak keriput, cacat atau rusak.
b.    Perlakuan terhadap biji
Biji yang sudah diseleksi sebagai calon benih sebelum ditanam direndam dalam air hangat dan dibiarkan selama satu malam atau sampai biji terlihat berkembang, biji yang mengapung sebaiknya dibuang dan tidak digunakan sebagai benih. Biji yang sudah direndam kemudian ditiriskan dan dapat ditanam segera atau paling lambat sehari setelah ditiriskan.
c.   Penyiapan lahan
Tata cara penyiapan lahan untuk untuk tanaman kelor sebagai pakan ternak sebagai berikut :
I.    Membersihkan rumput/gulma
II.   Pengolahan tanah 
-    Olah tanah dengan cangkul  atau  traktor  atau  bajak  sedalam  25 cm
     hingga didapatkan struktur tanah yang gembur.
-    Buatkan saluran air.
-    Biarkan tanah dikeringanginkan antara 5-10 hari, agar gas-gas beracun tanah dapat menguap.
III.  Membuat bedengan atau guludan
Sistem bedengan
-    Buat bedengan atau guludan sesuai dengan luas lahan.
-    Buatkan jarak antar bedengan sekitar 30 cm.
-    Pada tanah yang humusnya sudah kurang/tanah kurang subur  tambahkan pupuk kandang/kompos dengan merata sambil dibalikkan.
-    Ratakan bedengan untuk siap ditanami.
Sistem guludan
-    Buat guludan dengan lebar 20-30 cm, dengan 20 cm dengan jarak antar guludan 30-40 cm.
-    Pada tanah yang kurang subur dapat ditambahkan pupuk kompos/ organik.
-    Rapikan guludan hingga baik untuk ditanam.
d.    Penanaman dengan biji
Biji ditanam dengan cara ditugal sedalam 2-3 cm dan biji dimasukkan sebanyak 2-3 biji per lubang dan setiap lubang tanam ditutup dengan kompos sampai permukaan rata dengan tanah. Jarak baris sebesar 30 cm dan jarak tanam dalam satu baris sebesar 10 cm. Jika tidak hujan maka 3 hari setelah tanam dilakukan penyiraman atau pengairan untuk mempercepat perkecambahan benih dan selanjut disiram sekali seminggu.
e.    Waktu tanam
Waktu tanam yang baik adalah pada awal musim hujan, dapat saja dilakukan sepanjang tahun asalkan air tanahnya tersedia sepanjang waktu.
f.     Penyulaman
Sejak benih kelor ditanam, maka 5-7 hari kemudian sudah muncul dipermukaan tanah, benih yang tidak tumbuh sebaiknya disulan/diganti dengan yang baru, usahakan jangan jangan sampai umur tanaman lebih dari 15 hari setalah tanam.
g.    Penyiangan
Penyiangan dapat dilakukan pada tanaman berumur sekitar 30 hari setelah tanam atau tergantung dari pertumbuhan gulma, dengan cara mencabut gulma atau dengan menggunakan alat bantu seperti sabit atau cangkul, harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu tanaman kelor.
h.    Panen
Pemangkasan dapat dilakukan setelah tinggi tanaman mencapai 1 meter dan pemanena berikutnya dilakukan antara 45 - 60 hari pada waktu musim hujan dan 60 – 90 hari pada waktu musim kemarau.







DAFTAR PUSTAKA




Jumat, 10 Agustus 2012

PENYAKIT SEPTICAEMIA EPIZOOTICAE (SE)


Sinonim                : Penyakit Ngorok, haemorrhagic, septicaemia
Septicaemia epizooticae (SE) adalah penyakit menular yang bersifat akut yang disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida, terutama menyerang kerbau dan sapi, ditandai dengan adanya suara ngorok dan bronchopneumonia akut.
1.       Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh kuman  P. multocida  tipe  B:2 (6:B), atau tipe E:2, bersifat Gram negatip, berbentuk bipolar dengan ukuran 0,3 – 0,5 :m.
2.       Gejala Klinis
a.       Masa inkubasi sekitar 10-14 hari.
b.      Hewan penderita nampak depresi, lesu dan malas bergerak.
c.       Demam tinggi dapat sampai 42°C.
d.      Terjadi gangguan respirasi, terdengar suara ngorok.
e.      Hipersalivasi (mulut berbuih).
f.        Ada pembengkakan/edema di daerah leher sampai daerah dada bagian bawah.
g.       Kematian dapat terjadi dalam waktu 24-48 jam sejak munculnya gejala klinis.

3.       Perubahan Patologi Anatomi
a.       Terjadi perdarahan subkutan dan subserosa pada rongga dan perut. Perdarahan petekie sampai ekimose dijumpai pada jantung, hati dan limpa.
b.      Paru-paru menalami bronchopneumonia  yang ditandai oleh adanya kongesti, edema dan hepatisasasi.
c.       Dalam rongga dada sering ditemukan cairan (hidrotaraks) dan endapan fibrin.
d.      Pada saluran pencernaan terlihat kongesti atau perdarahan.

4.       Epidemiologi
a.       Angka morbiditas dari penyakit ini dapat mencapai 60% dengan tingkat kematian penderita (case fatality rate) sampai 100%.
b.      Kerbau/sapi umur 6 sampai 18 bulan sangat peka terhadap penyakit ini.
c.       Kasus biasanya terjadi pada akhir musim kemarau atau awal musim hujan.
d.      Hewan yang sembuh dari penyakit dapat bertindak sebagai karier.
e.      Kasus muncul akibat adanya stres dari hewan karier.
f.        Penularan utama terjadi secara oral melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh P. multocida.

5.       Diagnosa
a.       Berdasarkan gejala klinis, patologi anatomi dan epidemiologi.
b.      Walaupun demikian masih diperlukan konfirmasi laboratorium berupa isolasi dan identifikasi kuman penyebab, dan melakukan uji serologi serta pemeriksaan histopatologi.

6.       Diagnosa Banding
a.       Contagious bovine pleuropenumonia (CBPP)
b.      Penyakit jembrana (khusus sapi bali) pada stadium awal
c.       Leptospirosis akut
d.      Anthrax

7.       Pengobatan
Pemberian antibiotika pada saat awal kejadian penyakit, sering membantu proses penyembuhan.

8.       Tindakan Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit bisa dicegah / dikendalikan dengan melakukan vaksinasi secara teratur menjelang musim hujan.
9.       Material untuk pemeriksaan laboratorium
a.       Untuk isolasi kuman diperlukan darah jantung.  Di samping itu dapat juga dikirim; cairan dari rongga dada, paru-paru, limpa atau hati dalam medium transpor.
b.      Untuk pemerinksaan histopatologi dapat  dikirim organ yang mengalami perubahan dalam container yang berisi formalin 10%.


Gejala Klinis Penting
Spesimen yang
Harus diambil

Jenis Pengawet
Tujuan
Pemeriksaan
-      Lesu, hipersalivasi
-      Keluar eksudat bening dari hidung, odema pada pangkal leher sampai ke dada
-      Terdengar suara ngorok karena kesulitan bernapas
-      Pneumonia
-      Preparat ulas darah
-      Darah segar saat demam
-      Limpa, limfoglandula, eksudat, cairan oedema, sumsum tulang bila bangkai telah membusuk
-      Jantung, hati, limpa, paru-paru
-      Fiksasi methanol
-      Dalam antikoagulans
-      Dalam media transpor
-       Mikroskopis
-       Kultur



Istilah:
-          Epidemiologi (epizootiologi) adalah ilmu yang mempelajari frekuensi dan distribusi suatu penyakit serta factor-faktor yang mempengaruhinya di dalam suatu populasi.
-          Karier adalah hewan yang membawa agen penyakit tetapi ia sendiri tidak memperlihatkan gejala klinis suatu penyakit.
-          Etiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebab penyakit baik  secara langsung maupun tidak langsung.
-          Perdarahan adalah keluarnya darah dari dalam pembuluh darah.

Tindakan pencegahan dalam arti luas berarti penolakan suatu penyakit yang belum pernah dikenal sebelumnya (penyakit eksotik) masuk ke suatu wilayah bebas.
Dalam arti sempit, tindakan pencegahan dapat berarti mencegah  terinfeksinya suatu individu terhadap suatu penyakit yang telah  ada pada wilayah tercemar.
Apabila tindakan pencegahan ini  melibatkan suatu populasi (ternak) yang besar maka tindakan tersebut sudah berarti tindakan pengendalian, yang tujuan utamanya menekan kejadian penyakit.
Bila tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membebaskan suatu wilayah dari suatu agen penyakit, maka tindakan tersebut digolongkan dalam tindakan pemberantasan.

Sumber buku : Penyidikan Penyakit Hewan (Buku Pegangan)
Disusun oleh : Drh. Dewa Made Ngurah Dharma, M.Sc., Ph.D. dan Drh. Anak Agung Gde Putra, M.Sc., Ph.D., SH
Penerbit : CV. Bali Media Adhikarsa – Denpasar - 1997


Kamis, 09 Agustus 2012

Potensi Pakan Ternak di Pulau Timor



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.                         1.1 Latar Belakang
Sejarah telah menunjukkan bahwa Pulau Timor merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan ternak besar (Sapi, Kerbau, dan Kuda, Kambing serta Sapi). Lahan masih cukup tersedia di Kabupaten TTS, Sumba Barat, Sumba Timur dan Kabupaten Kupang. Status tanah adalah milik masyarakat.
Pulau Timor merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan peternakan dengan luas padang penggembalaan mencapai 888.273 Ha. Jenis ternak seperti sapi potong, kerbau, kambing, babi, domba, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan itik yang tersebar di masing-masing daerah Kabupaten/Kota, merupakan salah satu keunggulan dari daerah ini.
Pulau Timor dan pulau-pulau kecil sekitarnya (tidak termasuk Timor Timur) terdiri atas 4 Kabupaten, yaitu Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu dengan kepadatan penduduk 60,84 orang/km 2 yang umum-nya bermata-pencaharian utama sebagai petani .
Musim kemarau berlangsung 7 - 8 bulan lamanya, mengakibatkan padang rumput mendominasi wilayah tersebut, terutama dataran yang tidak memiliki sumber air musiman (2 – 3 bulan). Sehingga dataran tandus yang luas di musim kemarau dan hamparan rumput hijau di musim hujan merupakan pemandangan yang umum .
Aneka jenis tanaman stepa lain turut mewarnai panorama di Timor. Sempitnya areal untuk pertanian dan luasnya padang rumput mengakibatkan Timor sangat cocok untuk mengutamakan sektor peternakan dari sektor lainnya . Berdasarkan potensi ini, maka pada masa penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1915, sapi Bali dimasukkan ke Timor dalam jumlah ratusan ekor .
Sapi Bali yang dimasukkan ke Timor ternyata dapat beraklimatisasi dengan lingkungan setempat dan sangat prolifik, sehingga tidak mengherankan bahwa dalam jangka waktu relatif singkat, ternak sapi tersebut mampu berkembang pesat di tengah-tengah alam Timor yang sangat kering akibat kemarau panjang . Sampai saat sekarang pertambahan populasi masih terus berlangsung walaupun Timor telah menjadi salah satu donatur daging dan bibit sapi hampir ke seluruh wilayah Indonesia.

1.2.                        1.2 Tujuan
                Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
-       Mahasiswa dapat mengetahui potensi pakan yang ada di wilayah kerja masing-masing.
-       Mahasisa dapat mengetahui manfaat/pentingnya pakan bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak.
-       Salah satu syarat untuk mendapatkan nilai mata kuliah Tekhnologi Hijauan Makanan Ternak.


 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Gambaran Umum Wilayah Pulau Timor
Pulau Timor sebagai salah satu wilayah dengan jumlah sapi potong yang banyak, sejak beberapa dekade lalu telah mampu mengantarpulaukan atau mengekspor sapi dalam jumlah yang relatif cukup besar. Namun dalam dekade terakhir ini pengeluaran ternak dari NTT, atau pengeluaran sapi Bali dari Pulau Timor khususnya, telah mengalami penurunan dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pengeluaran sapi Bali dengan ukuran besar diduga telah menyebabkan pengurasan mutu genetik ternak (seleksi negatif). Pengeluaran sapi jantan dan kurangnya pemahaman peternak tentang aspek pemuliaan diduga juga telah menyebabkan terjadinya inbreeding. Seleksi negatif dan inbreeding  yang diimbangi dengan kekurangan pakan pada musim kering, telah menyebabkan ukuran sapi Bali di Pulau Timor terlihat semakin kecil dan kurus. Kondisi serupa juga dijumpai di Sulawesi Selatan dan beberapa wilayah di NTB. Namun di kawasan lain seperti Bali, Kalimantan, Sumatera, Merauke, dan wilayah lain, kondisi sapi Bali terlihat cukup bagus, sangat produktif, dan bahkan lebih bagus produktivitasnya dibandingkan dengan sapi lokal lain maupun sapi peranakan Bos indicus maupun Bos taurus.
Oleh karenanya menyelamatkan atau mempertahankan Pulau Timor sebagai salah satu gudang sapi Bali di Indonesia merupakan langkah yang sangat strategis dan penting, khususnya untuk turut mewujudkan program swasembada daging sapi.
Sebagai wilayah yang memiliki populasi sapi potong (sapi Bali) paling banyak, perlu diketahui kondisi agroekologi dan sosial budaya masyarakat di Pulau Timor. Hasil studi Badan Litbang Pertanian pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Pulau Timor bagian barat yang merupakan bagian dari Propinsi NTT adalah daerah kering dengan luas wilayah sekitar 1,7 juta hektar. Sekitar 700 ribu hektar dari kawasan ini merupakan kawasan peternakan, dan saat ini terdapat ternak dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sekitar 530 ribu animal unit(AU). Diperkirakan daya dukung wilayah untuk ternak sekitar 1,3 ha/AU. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini, populasi sapi di Propinsi NTT secara umum menunjukkan tendensi yang relatif stabil, namun jumlah rumah tangga pemilikan ternak meningkat. Hal ini disebabkan karena ternak lebih banyak dikandangkan karena alasan keamanan dan potensi merusak usaha pertanian, sehingga kemampuan keluarga untuk memelihara ternak menjadi semakin terbatas.
Pada umumnya petani hanya memiliki 1 – 2 ekor sapi, walaupun ada beberapa peternak yang memiliki 3 – 10 ekor (BADAN LITBANG PERTANIAN, 2007). Dari hasil survei 12 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU), sekitar 59 persen keluarga petani memiliki rata-rata 2,4 ekor sapi per KK. Angka ini menggambarkan bahwa sapi mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan keluarga petani di Pulau Timor. Pemeliharaan sapi dilakukan secara ekstensif di areal penggembalaan yang luas, namun tidak subur dan dipergunakan secara bersama-sama. Diperkirakan sekitar 67,5 persen lahan di Nusa Tenggara Timur termasuk kelas tipe IV – VI yang kurang sesuai untuk usaha pertanian intensif, sehingga ternak sapi merupakan komoditas paling tepat untuk dikembangkan di Pulau Timor.  Daya tampung atau carrying capacity padang penggembalaan umum ini dapat ditingkatkan apabila ada perawatan dan perbaikan dengan penanaman rumput atau leguminosa yang lebih produktif, adaptif, dan tahan penggembalaan (grazing). Pengairan dan pemupukan juga sangat diperlukan bila kualitas padang penggembalaan akan ditingkatkan. Namun karena kawasan ini dipergunakan secara bersama-sama, tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk mengelolanya. Bila jumlah sapi (stocking rate) meningkat dalam suatu kawasan yang mengakibatkan tekanan pada padang penggembalaan (grazing pressure), maka secara langsung akan berdampak pada kondisi ternak yang menurun akibat kekurangan pakan. Kondisi ini akan semakin diperburuk dengan adanya kemarau panjang akibat perubahan iklim, atau kebakaran/pembakaran rumput secara berlebihan. Pemeliharaan ternak secara intensif biasanya dilakukan di wilayah dekat sumber air, misalnya di daerah persawahan. Di kawasan ini ternak dipelihara secara terintegrasi dengan usaha tanaman pangan, walaupun belum ada aplikasi inovasi untuk meningkatkan kualitas pakan atau pengolahan kotoran ternak menjadi bahan pupuk organik. Berbeda dengan sistem gembala, ternak dipelihara lebih intensif dengan pemberian pakan secara  cut and carry.
Pola pemeliharaan seperti ini berdampak pada produktivitas sapi yang lebih baik, antara lain ditunjukkan dengan bobot hidup yang lebih tinggi dan tingkat kematian yang relatif kecil. Pada tahun 1930-an di wilayah Amarasi, Kabupaten Kupang telah dilakukan penghijauan dengan menanam lamtoro (Leucaena leucocephala) untuk tujuan mengurangi degradasi lahan. Pada tahun 1970-an kawasan ini telah tumbuh menjadi ‘hutan’ lamtoro dalam jumlah yang sangat memadai untuk kegiatan pembesaran dan penggemukan sapi. Bahkan sebagian besar pengeluaran sapi untuk tujuan antar pulau atau ekspor pada waktu itu berasal dari kawasan ini. Dengan tersedianya lamtoro yang cukup besar, petani mampu memelihara sapi sebanyak 4 – 5 ekor per KK. Namun dalam kenyataannya pada waktu itu petani tetap saja miskin karena yang menikmati keuntungan terbesar adalah pemilik modal yang menitipkan sapinya kepada petani. Biasanya pemodal menitipkan sapi kecil untuk dipelihara sampai ukuran tertentu, dan setelah besar petani memperoleh imbalan sekitar Rp. 300 ribu per ekor selama 2 tahun (komunikasi pribadi dengan petani). Secara umum, produktivitas sapi di Pulau Timor masih rendah, antara lain disebabkan karena 4 faktor, yaitu kondisi ternak, peternak, lahan dan teknologi. Beberapa pakar memperkirakan bahwa telah terjadi inbreedingatau pengurasan ternak (seleksi negatif) secara tidak terkendali, sehingga ukuran sapi menjadi semakin kecil. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pakan dan minum pada saat musim kering, serta ancaman beberapa penyakit atau parasit yang sangat merugikan.
Kekurangan pakan dan masalah penyakit secara langsung akan menyebabkan tingkat kematian anak sapi sangat tinggi yang dapat mencapai 48 persen (TALIB et al., 2003). Namun sapi Bali di kawasan ini mempunyai tingkat fertilitas yang sangat baik, walaupun kondisi tubuhnya kecil dan kurus. Pada umumnya hampir setiap tahun sapi Bali dapat beranak, walaupun sebagian anak-anaknya akan mati karena kekurangan susu atau pakan Tingkat pendidikan petani di daerah ini relatif masih rendah, dan pengetahuan tentang good farming practicehampir tidak dimiliki. Dua hal tersebut dibarengi dengan skala usaha yang relatif kecil, budaya kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta faktor sosial (pencurian ternak) yang kurang kondusif, merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak atau usaha peternakan sapi menjadi sangat rendah.
Padang penggembalaan yang didominasi oleh rumput alam yang kurang produktif serta dibarengi dengan berkembangnya gulma pengganggu mengakibatkan carrying capacitylahan menurun. Hal ini terkait erat dengan status kepemilikan lahan yang tidak jelas, sehingga tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk merawat dan memelihara padang penggembalaan.
Teknologi untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan pakan belum sepenuhnya dikuasai petani, seperti pengembangan gudang pakan (feed bank), pengkayaan pakan (feed enrichment), pola integrasi crop livestock systematau food feed system, maupun strategi pemberian pakan yang lebih rasional (feeding strategy). Teknologi pemuliaan dan reproduksi masih sangat jauh dari jangkauan peternak, karena masalah fundamental tentang pakan dan air pada saat musim kering masih menjadi kendala yang belum dapat diatasi. Teknologi pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak sudah banyak dilakukan dengan vaksinansi, walaupun cakupannya masih perlu diperluas. Terbatasnya adopsi teknologi ini juga tidak terlepas dari kurangnya insentif ekonomi yang diperoleh peternak, dan sebagian besar peternak masih berperan sebagai user atau keeper saja, bukan producer.

2.2.   Usaha Pembesaran Sapi Bali Di Pulau Timor
Sapi Bali sebagai sumberdaya genetik dan didukung oleh ketersediaan hutan lamtoro di Pulau Timor, masih belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Peternak masih miskin, dan tidak mempunyai akses terhadap modal maupun teknologi. Skala usaha yang terbatas dan tiadanya akses informasi pasar, menyebabkan posisi tawar peternak semakin lemah dalam tataniaga sapi. Kerjasama dengan pemodal dalam sistem gaduhan juga belum mampu mengangkat kesejahteraan petani. Petani tidak memperoleh penjelasan yang jelas dan adil, sehingga petani justru dimanfaatkan sebagai buruh murah oleh para pemodal. Bantuan dari berbagai program sudah banyak ditawarkan, namun hasilnya masih belum optimal, karena pendampingan dan pelaksanaan program yang belum sepenuhnya mampu mengangkat kesejahteraan peternak.
Peluang ini ternyata telah mendorong Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) NTT untuk mengembangkan program kemitraan pembesaran sapi Bali, dengan tujuan salah satunya adalah untuk memberdayakan masyarakat miskin di pedesaan. Program disusun dengan sangat sederhana, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dan petugas di lapang. Program kemitraan ini pada prinsipnya sama dengan program lain atau kegiatan sebelumnya, namun sejak awal dirancang agar petani memperoleh keuntungan yang optimal. Puskud NTT berperan sebagai inti, dan peternak adalah sebagai plasma. Puskud bekerjasama dengan penyandang dana (National Cooperative Business Association, NCBA) menyediakan kredit untuk pengadaan sapi yang akan dibesarkan, serta biaya-biaya tunai lain yang secara nyata harus dibeli atau dikeluarkan, seperti pembelian tali, nomor telinga, obat-obatan, dan lain-lain. Peternak berkewajiban untuk memelihara sapi sesuai petunjuk petugas, dan menyiapkan kandang sederhana. Pada saat sapi telah mencapai ukuran tertentu (bobot hidup lebih dari 250 kg), Puskud mencarikan pembeli yang bersedia membayar dengan harga jual sesuai dengan harga pasar berdasarkan bobot hidup. Pola ini hampir tidak ada perbedaan dengan program lainnya, kecuali dalam pelaksanaannya yang dilakukan melalui prinsip good governance yaitu transparan, akurat, jujur, adil dan konsisten.  Law enforcement benar-benar ditegakkan,  reward and punishment dilaksanakan secara tegas, serta tidak ada diskriminasi bagi petani yang mau bekerja keras dan mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama.

         BAB III
PENUTUP

3.1.   KESIMPULAN
1.    Pemeliharaan ternak sapi dan ternak lainnya  sangat tergantung pada keadaan lingkungan sekitar yaitu ketersediaan pakan Hijauan  Makanan Ternak yang sangat berpengaruh untuk perkembangan ternak itu sendiri.
2.    Potensi Hijauan Makanan Ternak yang ada di Pulau Timor adalah padang penggembalaan. Selain padang penggembalaan ada pula jenis Hijauan Makanan Ternak yang dapat diusahakan untuk ketersediaan pakan bagi ternak di wilayah tersebut.
3.    Dengan sistem penggembalaan sangat tergantung pada alam, akibatnya ternak merumput mengikuti seleranya . Hal ini menimbulkan "over-grazing" di suatu tempat dan "under grazing" pada tempat lainnya. Pemeliharaan sistem paron yang semi intensif adalah suatu sistem "fattening" yang memanfaatkan hijauan segar berkualitas baik  yang dapat diusahakan dengan penanaman beberapa jenis legume seperti, lamtoronisasi, penanaman turi dan gamal.
4.    Dengan adanya pengelolaan padang penggembalaan yang baik maka peningkatan populasi masih dapat ditingkatkan.

4.2.        Saran
1.    Dengan melihat potensi yang ada di wilayah Timor bahwa di wilayah ini maka Pulau Timor merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan ternak besar (Sapi, Kerbau, dan Kuda, Kambing serta Sapi). Oleh karena itu maka perawatan dan perbaikan dengan penanaman rumput atau leguminosa yang lebih produktif, adaptif, dan tahan penggembalaan (grazing). Pengairan dan pemupukan juga sangat diperlukan bila kualitas padang penggembalaan semakin ditingkatkan.
2.    Selain dukungan ketersediaan pandang penggembalaan dan Hijauan Makanan Ternak perlu ada perhatian terhadap teknologi pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan produksi dan produktivitas ternak.


DAFTAR PUSTAKA

BKPMD. TT. Peternak. http://www.nttprov.go.id/bkpmd/web/index.php?hal=poternak. [8 Juli 2012]. 16.